Monday, February 7, 2011

Hari Ketika Akhirnya Aku Menangis

Hari Ketika Akhirnya Aku Menangis

[KNAENCREATIVE@2011] Aku tidak menangis ketika tahu bahwa aku adalah orangtua seorang anak
cacat mental. Aku hanya duduk diam seribu bahasa ketika aku dan suamiku
diberitahu bahwa Kristi, dua tahun - sesuai dengan kecurigaan kami -
adalah anak terbelakang.
"Silakan menangis," kata dokter itu dengan ramah. "Itu dapat mencegah
masalah-masalah emosi yang serius."
Kendati terancam dengan masalah-masalah serius, aku tidak dapat
menangis, baik waktu itu maupun selama bulan-bulan berikutnya.
Ketika Kristi cukup "matang" untuk bersekolah, kami mendaftarkannya ke
sebuah sekolah taman kanak-kanak pada usia tujuh tahun.
Akan sangat melegakan andaikata aku menangis pada hari ketika aku
meninggalkannya di ruangan yang penuh dengan anak-anak lima tahun yang
sangat bersemangat dan penuh keyakinan. Selama itu Kristi selalu
bermain sendirian, tetapi saat ini, ketika ia menjadi anak "berbeda" di
antara dua puluh anak lain, bukan tidak mungkin ia akan merasakan
kesepian paling berat selama hidupnya.
Ternyata, sesuatu yang positif mulai terjadi pada Kristi di sekolahnya,
juga pada teman-teman kelasnya. Kendati berlomba meraih
prestasi-prestasi masing-masing, teman-teman Kristi selalu bersedia
memberikan pujian kepadanya juga: "Kristi bisa mengeja dengan benar
hari ini." Tidak seorang pun bertindak usil dengan menambahkan bahwa
kata yang harus diejanya lebih mudah daripada untuk anak-anak lain.
Selama tahun keduanya di sekolah, ia menghadapi sebuah pengalaman yang
sangat traumatis. Peristiwa penting dalam semester itu adalah
perlombaan dalam bidang keterampilan musik dan olahraga. Kristi
terbelakang dalam olah musik dan olahraga. Aku dan suamiku juga takut
dalam menghadapi hari itu.
Pada hari berlangsungnya acara itu, Kristi berpura-pura sakit.
Mengingat kekurangannya, aku pun ingin membiarkannya tetap di rumah.
Mengapa aku harus membiarkan Kristi dipermalukan di aula di hadapan
para orangtua, murid, dan guru-guru? Kelihatannya solusi yang sederhana
adalah mengizinkannya tinggal di rumah. Tidak mengikuti acara ini
pastilah bukan suatu masalah. Tetapi hati nuraniku tidak membiarkan aku
menyerah begitu mudah. Maka aku dengan lembut membujuk Kristi untuk
bersiap-siap berangkat dengan bus sekolah, sementara aku sendiri masih
bimbang dengan keputusanku.
Karena aku baru saja memaksa putriku pergi ke sekolah, kini aku harus
memaksakan diri pergi ke acara itu. Tampaknya kecil kemungkinan bagi
kelompok Kristi untuk tampil dengan baik. Ketika akhirnya giliran
mereka tiba, aku tahu mengapa Kristi merasa cemas. Seperti telah
dikatakan, kelasnya dibagi menjadi beberapa kelompok. Dengan tenaganya
yang lemah, dan reaksinya yang lambat serta kikuk, ia pasti akan
menjadi penghalang bagi kelompoknya.
Untuk lomba-lomba yang lain, penampilan mereka cukup baik, sampai tiba
saatnya untuk lomba balap karung. Sekarang tiap anak harus masuk ke
dalam sehelai karung dalam posisi berdiri, kemudian melompat-lompat
sampai ke garis tujuan dan kembali lagi ke tempat semula.
Aku mengawasi Kristi berdiri di bagian ujung kelompoknya, tampak panik
sekali.
Akan tetapi begitu tiba giliran Kristi untuk beraksi, kelompok itu
melakukan perubahan posisi. Anak laki-laki paling jangkung dalam
barisan itu melangkah ke belakang Kristi lalu memegangnya pada
pinggangnya. Dua anak laki-laki lain berdiri agak di depannya. Pada
saat pemain sebelum Kristi melangkah ke luar dari karung, kedua anak
laki-laki tadi mengambil karung dari pemain terdahulu, kemudian
membukanya sementara si jangkung mengangkat Kristi dan memasukkannya ke
dalam karung. Seorang anak perempuan di depan Kristi memegang tangannya
dan menahannya sebentar sampai Kristi memperoleh keseimbangannya.
Selanjutnya melompatlah ia sambil tersenyum bangga.
Sementara para guru, sesama murid, dan para orangtua bersorak memuji,
aku tersungkur bersujud, berterima kasih kepada Tuhan atas orang-orang
yang ramah dan penuh pengertian dalam hidup ini, yang memungkinkan
putriku yang cacat merasa sama seperti anak-anak lain.
Kemudian akhirnya aku menangis.

0 comments:

Post a Comment